Obert Hoseanto – Petinggi Microsoft Indonesia yang Berkarya sebagai Pendidik: Gabungkan IT, Matematika, dan Pendidikan (#2) Transkrip – The Empire Code Show
show-img

Obert Hoseanto – Petinggi Microsoft Indonesia yang Berkarya sebagai Pendidik: Gabungkan IT, Matematika, dan Pendidikan (#2) Transkrip

Catatan podcast dan tautan ada di https://show.empirecode.co/obert-hoseanto/

Diana: Terima kasih Pak Obert udah mau dateng ke podcast kita, ini kita juga perdana, kemarin perdana tapi kita juga belajar disini banyak. Perkenalkan dulu sebelumnya, saya Diana. Mungkin satu hal yang kita bertiga disini sama kali, jadi karena saya dulu Sampoerna Academy di Bali, Sampoerna Academy Bali dan saya tahu Pak Obert pernah bekerja di sana juga at some point, Kak Doki juga kuliah di sana. Jadi mungkin we have that particular thing dan ya terima kasih again. Right, hari ini ada Pak Obert atau nama lengkapnya Pak Obert Osianto, Learning and Skill Specialist di Miscrosoft hadir bersama kita di tengah-tengah podcast ini. Beliau adalah eduation specialist atau spesialis pendidikan, betul Pak istilahnya begitu?  Spesialis pendidikan yang fokus pada transformasi digital di institusi pendidikan di Indonesia khususnya. Mungkin biar enggak berat-berat kita flashback dulu kali ya Pak Obert. 

Obert: Tua banget nih..

Diana: Enggak, kita semua bisa punya momen buat flashback dan mengenal. Kita semua penasaran nih dengan Pak Obert yang udah pasti pengalamannya juga sudah beragam sampai hari ini. Saya penasaran gimana ketertarikan Pak Obert dengan pendidikan dan teknologi khususnya, itu tumbuh di diri Pak Obert.

Obert: Okey, thank you Diana, terima kasih sudah diundang dan bisa berbagi. Kalau kamu mengenalkan diri dari Sampoerna Academy berarti kita tiga generasi dalam satu podcast.

Tri: It’s true

Obert: Paling senior lagi, but it’s good to see that those yang dulu saya bantu established, yang saya ajarkan dan saya tinggalkan tetap berkembang dan hasilnya nyata dan luar biasa. Dan bagi seorang pendidik, bisa bekerja sama dengan hasil didikannya langsung itu satu kebanggaan dan kepuasan tersendiri. So, I’m personally happy seeing you all here, dan bisa kolaborasi bareng ini artinya we did the right thing and you guys turned out amazing. Itu yang buat saya kepuasan tersendiri lah. Kalau ditanya kenapa saya mulai di pendidikan, mungkin jawabannya itu kecelakaan sih, nggak sengaja. Saya dulu kuliahnya IT sama Matematika, itu dua nyambunglah sebenarnya, nyambung susahnya, nyambung penderitaannya dan panjang. Ternyata saya nggak terlalu suka sekali dengan zaman dulu—nggak perlu dibahas berapa tahun lalu, kuliah IT itu biasanya antara jadi programmer atau engineer atau mungkin ke arah networking, ya sudah seputaran itu aja. Dan kalau matematika, kuliah matematika itu beda dengan belajar matematika di SMA. Kalau belajar matematika di SMA itu menghitung masih ada angka keluar hasilnya, begitu kuliah yang keluar hasilnya nol, satu atau tak terhingga. Itu sudah pengerjaannya dua lembar [kertas] folio bolak-balik penuh nggak selesai-selesai. Jadi, that’s not something I was truly passionate. Nah, ketika saya jadi mahasiswa sudah tahun ketiga.. tahun keempat, masuk tahun keempat saya iseng-iseng mulai ngajar di sekolah. Saya apply untuk ngjaar di sekolah, tadinya sih niatnya untuk biasalah mahasiswa kan nyari buat uang saku lah ya, buat kebutuhan masing-masing gitu. Eh ternyata ketika saya ngelamar di sekolah ngajar, saya sudah punya background jadi guru les sebelumnya, jadi dari SMA pun sebenarnya saya sudah mulai nge-les anak tetangga waktu itu [mulai] SD dan SMP. Begitu kuliah masih sempet ngelesin juga lanjut. Nah saya iseng-iseng deh nyoba ngajar di sekolah full time, waktu itu masih part time dan ternyata saya lebih suka di sekolah dan dari situ malah full kerjaan saya di pendidikan. Mulai dari guru part time, begitu lulus saya lanjut sampai full time sampai akhirnya ditawarkan jadi kepala sekolah. Itu sesuatu yang saya rasa karena passion saya betul-betul ada di situ, sekolah pun melihat sampai pada akhirnya ditawarkan posisi itu. Sampai akhirnya saya lanjut kuliah lagi ngambil pendidikan karena saya merasa waktu itu pengalaman di lapangan ada tapi saya butuh ilmunya juga. Akhirnya saya ambil ke Instructional Technology, di mana pada masa itu teknologinya pun belum secanggih saat ini tapi konsep institutional design dan thinking design-nya itu sudah masuk dan ternyata sampai sekarang terpakai luar biasa. Terutama di era yang teknologi maju dengan kecepatan cahaya ya, kalau bisa dibilang lima tahun terakhir itu tercepat tapi mungkin dua tahun terakhir ini luar biasa cepatnya sekali. Di era pandemi kebutuhan orang makin intens dan perusahaan-perusahaan pun berusaha mengakomodir segala kebutuhan itu dan design thinking itu yang sangat terpakai sekali. Jadi, memang kenapa mau masuk education ya, karena dari iseng-iseng tapi disitulah ketemu passionnya dan saya bisa dibilang mungkin nggak ada penyesalan sama sekali. Kan banyak yang bilang “Yakin mau jadi guru?” Tapi ternyata jadi guru itu malah bisa bikin saya di posisi yang sekarang gitu lho. Soalnya dulu juga dikomplain sama orang tua, “Jadi guru yah?” Eh begitu di posisi ini mereka nggak ada komplain lagi tuh.

Tri: Right, right.. Pak Obert, ini kan kalau misal kita runut ya, tadi ada yang matematika kemudian IT terus berakhir di pendidikan dan menyatukan semua. But I do believe in challenges that you passed. Ada challenges apa aja yang muncul di setiap stage-nya ketika Pak Obert shifting dari karier, dari bidang satu ke bidang yang lain?

Obert: Nah, itu challenge and it’s time a journey, kalo nggak ada itu mungkin nggak menarik. Ketika jadi guru itu challenge-nya juga banyak, jadi guru waktu masih kuliah menghadapi anak-anak SMP, SMA yang beda umurnya kan nggak terlalu jauh juga. Itu challenge-nya lumayan apalagi mereka kadang menganggap saya juga nggak beda-beda jauh amat, hanya akal-akalan sudah lah nggak perlu terlalu serius. At some point, saya bisa ngobrol sama mereka, kadang ya sudah weekend dulu ke mall kebetulan rumah dan sekolah tempat saya ngajar nggak jauh jadi tempat mainnya itu-itu juga. Jadi ya sudah kadang on some weekend kadang main sama mereka tapi begitu di kelas tetap serius. Nah itu kadang agak challenging, juggling between friendship and being a leader in the class

Waktu jadi kepala sekolah juga challenge-nya, waktu itu saya judulnya masih muda sekali deh.

Diana: Sekarang juga masih muda, Pak Obert.

Obert: Masih muda sekali deh gitu ketika jadi kepala sekolah, nah itu yang di-challenge sama semua orang become a leadership. Do I know what I’m doing, can I make the differences. Terutama saya masuk di sekolah yang sedang bertransformasi waktu itu. Waktu saya mulai ngajar itu baru mulai rame konsep national class school, sekolah berlomba-lomba bertransformasi dari sekolah swasta biasa menjadi swasta plus. Itu lumayan besar challenge-nya terutama di mana saya upgrade resources baik itu guru, staffnya, dan semua tim penunjangnya. Tapi ternyata apa yang saya pelajari di situ terbawa juga sampai ke role saya yang sekarang ini. Jadi, ketika sudah lepas di sekolah sempet jadi trainer, ngajar guru-guru bagaimana, ngajar siswa bagaimana, itu salah satu challenge tersendiri. 

Lalu, ketika masuk di kampus kalian [Sampoerna University ] juga, sebelum mendirikan kampus itu tugasnya kan melatih guru-guru di Indonesia. Nah, itu juga challenging-nya ngajarin guru-guru yang umurnya dua kali lipat saya, pengalaman ngajarnya seumur saya hidup, itu kan challenging sekali. Waktu itu mungkin saya ketolongnya, tanda kutip ketolongnya saya ngajarnya seputaran IT, mereka nggak bakal ngerti itu, mereka nggak mudeng sama sekali. Challenge saya adalah bagaimana menjembatani kemampuan saya yang salah satunya ditopang dari saya kuliah di IT untuk mengajar mereka yang bener-bener nol. Nah, itu berpikirnya jadi sangat pragmatis dan itu bener-bener dasar sekali, mungkin kalau buat kalian yang dulu belajar di Sampoerna Academy dan di Sampoerna University “Hanya begini nih”. Tapi ngajar itu saja yang mungkin kalian di materi orientasi dapat itu jadi materi beberapa pertemuan dengan mereka dan itu harus super ekstra sabar karena pendek. 

Tri: Ekstra sabar Pak ya, harus bener-bener.

Obert: Step by step harus dibikin recordnya dan ketika di step ke berapa tau-tau ada refresh di halaman tampilannya. Jadi harus kembali, karena tombolnya sudah beda, jadi semua orang sudah panik.

Tri: Astaga…

Diana: Ohh I see, kebayang.

Obert:  Pindah ke Microsoft juga tugasnya melatih guru-guru, edukators se-Indonesia. Semua yang saya alami berkali-kali lipat langsung tantangannya karena saya juga menjangkau sampai ke daerah-daerah yang dalem, yang namanya pun saya baru denger karena bekerja di Microsoft ini dengan terlibat kerjasama dengan berbagai daerah. Nah, itu lebih susah lagi namun saya bersyukur karena sepanjang perjalanan  saya ketemu banyak teman-teman dan mentor yang bisa bantu atau bisa juga istilahnya partner in crime lah yang mau sama-sama susah, mau sama-sama capek dan mau sama-sama mengubah apa yang kita hadapi. 

Itu yang membantu dan mungkin itu yang harus diinget-inget juga oleh kita semua dan mungkin buat kalian juga nanti ketika menghadapi challenge seperti itu terkadang perlu konsultasi sama mentor, mungkin nggak mesti di dalam satu organisasi yang sama tapi kalian tau orang yang bisa memberi saran ke kalian dan bisa membukakan pikiran kalian. Jadi, meskipun bukan di bidang yang sama tapi bisa ambil helikopter viewnya dan memberi perspektif yang berbeda karena masalahnya kita terlalu kacamata kuda, begitu kita mau buka dari sisi berbeda sebenarnya sudah ada jawabannya di situ, that’s help you over the challenges. Dan juga mungkin ditambah dua tahun terakhir ini  era pandemi, you guys and including myself, we need people more than ever now, we can’t really survive our own akan struggling setengah mati dan memang butuh orang, kadang sebatas kayak curhat aja tapi itu bisa membantu sekali dan kalo sudah keluar unek-uneknya pikiran akan jernih. Jadi, overcome our challenges at some point. Itu pengalaman saya selama ini sih terutama yang dua tahun terakhir yang sangat-sangat penting sekali itu.

Tri: Right, saya jadi penasaran nih Pak Obert. Ini kan berarti sekarang profesinya Pak Obert jadinya malah di pendidikan tapi fokusnya di IT. Nah, selama jenjang karier yang sudah dijalani sama Pak Obert, ada nggak best moment yang muncul di rentang waktu itu Pak Obert? Yang kayak, “Uhh.. momen ini aku belajar banyak banget.”

Obert: Banyak sih, beberapa yang buat saya itu sangat berkesan, ketika saya berhasil merekrut mahasiswa didikan saya untuk jadi tim member saya. Bagi saya ketika saya yang merekrut itu ujian besar bagi saya pribadi, have I don’t a right thing, have I walk the talk, did I give a good example, can they do what expect to do dan ketika mereka dapat apresiasi dari bos saya, dari tim member yang lain terutama dari customer semuanya memberikan apresiasi, buat saya itu… it’s like a million bucks. Artinya I did a right things dan mereka bisa berkembang lebih luas dari harapan saya, itu yang buat saya paling luar biasa. Ada juga kan yang sekarang masih di Microsoft tapi udah pindah bukan di tim saya lagi tapi malah dipakai untuk membantu seluruh customer-customer critical-nya Microsoft. Nah itu malah lebih hebat lagi, artinya skill-nya dia bisa lebih diterjemahkan ke kebutuhan lain, itu yang tidak disangka-sangka, itu yang pertama. 

Yang kedua sangat berkesan sekali saya berkesempatan untuk berkontribusi secara langsung di berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai daerah-daerah yang mungkin kita cuma pernah dengar atau mungkin tidak pernah dengar namanya baik di dalam suatu acara. Baru tau,“Oh ada nama daerah ini di Indonesia ya” tapi ketika di situ hasilnya begitu sukses dan mereka memanfaatkan sepenuhnya itu rasanya bangga dan merasa puas, bahagia, sukses. Karena betul-betul berhasil melakukan transformasi. Nah, itu tidak mudah, saya nggak bilang “it’s a easy to do”, nggak. Itu membutuhkan kerjasama banyak pihak, dukungan dari tim leadership, dukungan dari pejabat daerah lalu juga komitmen dari para pesertanya. Ini sesuatu yang menarik juga untuk dipelajari supaya bisa direplika oleh daerah lain terutama ketika kita bercerita, “Ini dari daerah yang namanya tidak pernah didengar lho.” Beda kan kalau kota-kota besar, semua pasti akan bilang, “Wajarlah, itu kan kota besar.” Tapi kalau daerah yang kondisi geografisnya saja penuh tantangan dan mereka bisa, nah itu sangat mengena dan kalau bahasa saya mungkin ingin memprovokasi daerah-daerah lain ya, ini bisa kalian tentu harus lebih bisa hasilnya. Gitu lho. Begitu banyak dan banyak sekali sih dan itu dua hal yang menurut saya paling berkesan sekali.

Tri: Wow, karena sebenarnya nggak hanya educator saja yang melihat anak didiknya sukses, biasanya leader juga akan merasa bangga ketika bisa menciptakan leader-leader baru di semua aspek kesuksesan itu ketika memunculkan success dengan cara yang lebih handal.

Diana: Dan tadi ketika Pak Obert bilang ketika yang dididik dulu berhasil di tim dan di divisi lain, saya juga merasakan. At some point saya merasa sebagai orang yang diposisi yang dididik juga merasa bangga juga gitu bisa bekerja sama dengan guru kita atau yang mendidik kita dulu dan willingness untuk berjuang totalitas itu juga makin 100% meningkat. Right dari tadi juga sempet tentunya Pak Obert mention beberapa hal terkait transformasi. Saya pikir, yang saya lihat di Indonesia geografisnya merupakan tanggung jawab yang sangat tidak mudah. Pernah nggak di momen yang Pak Obert stres atau merasa ada tekanan gitu dan bagaimana kira-kira Pak Obert di situasi itu? 

Pak Obert: Kalau dibilang stres, di semua project pasti bikin stres lah. Kalau terlalu gampang itu juga pasti nggak menarik dan kadang curiga, something it’s not right. Kalau gampang, something might go wrong. Itu selalu menjadi insting, mungkin yang saya merasa paling stres full selama karier itu ketika saya mengadakan event 2019—yang kamu hadir waktu itu Doki, dan itu event besar yang pertama kali saya buat. Itu betul-betul dan skalanya sebesar itu dan mengundang stakeholders dari berbagai pihak dan mendapatkan sponsorship dari banyak pihak. Jadi itu ekspektasi besar, I have to show people, Am I able to deliver my promise, itu yang agak degdegan, itu yang very stressful, dua minggu terakhir itu luar biasa pressure-nya. Namun, saya kembali lagi bersyukurnya punya tim yang mau bela saya, mau sams capek, susahnya, dan manajer saya waktu itu juga mau bantu. Dia berusaha menenangkan saya dan tetep suportif, apa yang saya butuhkan dia akan cover. Nah itu yang penting, kalau semuanya sendirian di kamu mungkin akan hancur. Sejujurnya, saya pernah di posisi saya paksain semuanya harus saya yang jalani, harus saya telen semuanya malah hasilnya mengecewakan. Tapi begitu akhirnya sudah harus di breakdown harus dibagi, dan make people accountable malah lebih bisa sukses. Dari situ kan malah bisa terisolir kalau memang ada problem, ya sudah terisolir problem ini dan langsung diperbaiki yang bermasalah. Kalau sendiri semua, masalah ini satu tapi karena berusaha memperbaiki satu ini yang lain malah akan berantakan. Jadi, harus berpikirnya jangan semuanya harus sendiri. Stres itu udah pasti tapi coba diskusi ke bagian mentor dan kolega itu penting supaya dapat satu tim yang solid, you can’t do everything on your own, that’s what I learned so far

Tri: Orang yang udah berpengalaman itu emang bahasannya beda ya Diana..

Diana: Iya, walaupun Pak Obert sudah experience banget tapi tadi sempet berkali-kali juga ngingetin kita pentingnya mentor dan orang-orang tim bahkan kolega siapapun yang ada disekitar kita and about mentor, Pak Obert ada gak kolega yang inspiring Pak Obert yang menginspirasi Pak Obert atau mentor yang you look up into? 

Obert: Ada beberapa sih. Dosen kamu juga, Doki. Dekan kamu [Bu Paolin] juga salah satunya, mentor saya yang masih sering saya ganggu—kalau dia sempat. Jadwalnya juga sama menyeramkannya. Sebentar ada di sini, sebentar ada di sana. Tahu-tahu ada di negara lain. Tahu-tahu sudah pulang dan di kota lain mondar-mandir. Itu mungkin bisa dibilang salah satu inspirasi saya kenapa saya menjalankan role seperti ini. Dia sudah mulai jauh lebih dahulu dari saya, mendorong e-learning di zaman e-learning itu mungkin sesuatu yang orang tidak paham itu apa dan kenapa harus e-learning. Kenapa tidak face to face saja yang konvensional seperti itu, mungkin lebih gampang karena semuanya sudah terlihat. Kalau e-learning zaman dulu kan metodenya banyak. Jadi mungkin bukan e-learning yang kita pelajari atau banyak pelajari sekarang sudah visual semua dan synchronize discussion. Dia [mentor saya] mulainya sudah dari zaman Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang materinya harus pakai buku, kaset video yang buat sendiri.

Nah dari sana saya belajar banyak tentang konsep pembelajaran jarak jauh dan diterjemahkannya ke pembelajaran zaman sekarang. Sampai sekarang pun, yang saya kagum dari beliau adalah masih terus belajar, masih mengeksplorasi hal-hal baru, dan dia masih bertanya-tanya hal-hal teknologi terbaru kepada saya. Terkadang saya juga harus persiapan dulu ketika dia tanya sesuatu. Jadi kadang dia tanya, saya cari tahu dulu, baru bisa jawab. Nggak bisa langsung saya jawab lho. Artinya kan, dengan dia yang pengalamannya dua kali lipat dari saya, reputasinya sudah internasional, masih belajar terus. Buat saya itu satu role model/inspirasi yang layak ditiru dan mungkin harus direplika lagi, makanya saya juga sebisa mungkin, sebanyak mungkin hal baru untuk menginspirasi yang lainnya supaya bisa mengikuti yang sama. 

Tri: Dengan begitu pun beliau masih sangat humble ya, Pak. Saya beberapa kali kontak beliau dan beliau itu sangat welcome

Obert: Sangat. Dan sebisa mungkin dia akan meluangkan waktu untuk kita, terutama yang sudah dikenal ya. Kalau mau diskusi, mau minta pendapat, itu sebisa mungkin dia akan meluangkan waktu lho. Itu yang mahal sekali lho.

Tri: Benar, Pak. 

Obert: Itu mungkin yang jadi inspirasi saya, sehingga kadang anak didik saya kalau ada yang nanya atau mau diskusi atau mau konsultasi sebisa mungkin saya coba luangkan waktu dan berdiskusi lah. Saya tidak pernah tahu, mungkin dengan ngobrol sebentar itu bisa mencerahkan pemikiran mereka dan mendorong mereka lebih sukses. Itu aja sih pemikiran saya.

Diana: Pak Obert, di tengah-tengah hal yang lagi Pak Obert lakukan. Ada hobi nggak yang sekarang sedang ditekuni/disukai, selama pandemic khususnya?

Obert: Itu pertanyaan bagus banget. Hobi itu belakangan ini jadi sesuatu yang… mungkin banyak berubah. Kalau dulu saya masih hobi nonton bioskop dan baca gitu. Belakangan ini, selama pandemi saya jarang nonton, mungkin sudah lelah ya melihat layar terus-terusan, bahkan tiap weekend juga masih hajar. Sekarang yang saya coba paksa lagi adalah baca. Jadi saya sudah beli banyak banget buku. Terutama karena selama pandemi ini banyak yang diskon-diskonan. Jadi diskon, banyak yang murah, dan beli. Beli, beli, beli, begitu bayar, “Ah, kok mahal banget ya.” Akhirnya numpuk sampai sekarang belum dibaca. Selama pandemi ini ada sekitar 15-an buku yang dibeli, baru buku ketiga ini mulai dibaca. Tapi di situ, saya mencoba membaca buku di luar bidang saya. Artinya tidak mesti hal-hal itu terus, belajar hal-hal lain. Kadang mencari inspirasi dari perjalanan hidup orang lain. Nah ini sesuatu yang menarik. Perjalanan hidup mereka apa saja sehingga bisa mengantarkan mereka menjadi orang dengan karakter saat ini. Dari sana kan saya bisa belajar dari pengalaman mereka juga. Kadang kan ada yang mirip, hanya beda konteks, tapi sangat mirip sekali. Nah itu yang menurut saya menarik. Dan membuat saya berpikir apakah saya sudah berjalan dengan tepat. Itu yang saya sedang coba.

Kalau olahraga, sejak mulai PPKM itu saya stop dulu. Agak ngeri ke luar, terutama karena masker harus double. Kalau masker harus double itu dan olahraga ke luar, berat sekali rasanya ya. Belum berani. Kebanyakan akhirnya baca, dan sebisa mungkin kalau ada waktu tidur sih. Capek banget sekarang. 

Diana: Buku terakhir yang dibaca apa, Pak Obert?

Obert: Ini sekarang yang lagi saya baca Becoming karya Michelle Obama. Sebelumnya yang baru selesai saya baca itu bukunya Barack Obama yang terbaru. Tapi menarik juga itu suami-istri. Bukunya keduanya saya baca, tapi perspektifnya berbeda sekali sih tentang cara mereka melihat hidup dan menceritakan pengalaman hidupnya… itu menarik. Saya pribadi cukup merekomendasikan mungkin yang Michelle Obama, sedikit lebih mudah dicerna. Kalau Barack Obama banyak bercerita tentang pengalam dia di White House sebagai presiden dan banyak cerita soal pandangan politiknya dia. It might not be for everyone. Tapi yang Michelle Obama ini mungkin yang lebih sisi manusiawinya lah yang diangkat. Itu banyak buku bagus… saya lagi banyak punya buku bagus. Dari dulu itu hobi beli. Pernah ada satu period saya berhenti beli karena saya tahu nggak sempat baca. Begitu pandemi, yaudahlah beli lagi, baca lagi. Toh nggak ke mana-mana. Dulu saya baca kalau terbang. Kadang mampir beli di toko buku di bandara, baca. Karena non-stop kan terbang bolak-balik. Selesai, beli lagi. Beberapa tahun sudah nggak beli, akhirnya beli-beli lagi. Jadi hobi lagi. 

Diana: Right, saya punya satu pertanyaan terakhir. Ini pesan buat educators atau yang ingin jadi educator. Menurut Pak Obert, apa tiga top skills yang mereka harus punya menghadapi teknologi yang seperti kecepatan cahaya ini? 

Obert: Oke top three. Kalau top three, itu satu harus paham konsep digital citizenship not only digital literacy. Digital literacy ini bisa dibilang bagiannya, kalau digital citizenship ini lebih ngomongin how do you become a global digital citizen; bagaimana bersikap di dunia maya atau di dunia digital, apa yang boleh, dan apa yang harusnya dihindari. Ini yang tricky karena mungkin kalian di Sampoerna University/Academy dapat materi di seputaran itu di awal masuk. Tapi kalau bicara di sekolah umumnya, itu nggak ada materi ini. Di kuliah mana pun nggak ada. Mungkin kalau digital literacy ada, tapi kalau sampai how to be a digital global citizen, itu belum ada. Itu yang perlu dipelajari. 

Lalu kedua, everybody need to be a lifelong learners.Ini yang penting. Tidak bisa dihindari lagi, semua orang harus unlearn dan re-learn anything. Contohnya; saya merasakan zaman handphone (HP) itu dari zaman HP segede batu bata. Zaman itu sudah biasa kalau HP ada asisten yang bawain karena itu bener-bener kayak batu bata, berat banget dan mahal sekali. Harga HP waktu itu bisa seharga mobil saat itu zamannya. Itu saya melihat ada HP yang lipat, ada yang kecil sekali, sampai HP yang mulai pakai keypad sampai nggak ada keypad. Dulu smartphone definisinya sangat terbatas, sekarang sudah luar biasa sekal—hanya dalam jangka waktu 20 tahun terakhir itu perkembangannya luar biasa sekali. Nah, everybody need to unlearn and relearn the skills they need. Pendidik sekarang, mungkin kalau dulu dia melarang penggunaan gadget di kelas, sekarang mau nggak mau harus ngajar dengan gadgetnya. Itu kan skills baru. 

Ketiga, harus punya mindset life-wide learners. Artinya, belajar juga ilmu-ilmu selain apa yang sudah pernah kita dalami. Contohnya: guru-guru mungkin dia expert di bidangnya—biologi, kimia, sejarah. Harus belajar pakai teknologi juga, mau nggak mau harus belajar pakai bidang ilmu yang lain. Anak-anak sekarang, kalau lihat dari programnya kementrian pun, dengan Kampus Merdeka. Mereka mendorong anak-anak Indonesia punya skillset yang lebih kaya, tidak hanya dari keilmuan jurusannya dia, tapi dia bisa punya skill digital yang complementing whatever that they’re studying. Misalkan yang belajar statistika, mereka belajar jadi data scientist karena itu sangat nyambung. Tapi kenapa tidak yang belajar misalkan, kimia, belajar juga tentang data scientist. Toh ujung-ujungnya ada juga skills menganalisa data yang dibutuhkan kalau dia mau jadi researcher atau dia ternyata tertarik menjadi seorang developer/network engineer, atau bahkan ada pernah yang di Microsoft, PHD di biologi tapi menjadi cloud solution architect, jadi kan bisa. Nah, ilmu itu tidak mesti linier satu saja. Tapi cobalah belajar sebanyak mungkin ilmu dan jangan pernah takut eksplorasi hal-hal yang tersedia, terbuka di internet. Hati-hati, tapi jangan terlalu sempit hanya A, B, C saja. Tapi cobalah eksplorasi sebanyak mungkin ilmu. Karena sekarang jamannya sudah berbeda. Dulu mungkin orang hanya sebagian yang mau percaya pasar saham, trading, bursa efek. Sekarang main crypto. Nah ini kan baru ada beberapa tahun terakhir ini. Sekarang crypto itu mungkin sesuatu yang lebih tidak ada fisiknya sama sekali. Beda kalau saham kan masih ada perusahaannya, pabrik, atau perkebunannya. Ada asetnya kelihatan. Nah ini kan sesuatu yang beda total. Namun banyak lho anak-anak muda sekarang punya karier di Crypto Financial dan they make great amount of money, dan itu karena anak-anak tidak takut mencoba hal yang baru. Tapi kalau yang biasanya sudah punya ritme satu macam, itu akan takut mencoba hal baru dan itu akan loncat. 

Di Microsoft, kami menyebutnya growth mindset dan challenger mindset. Do we dare to challenge ourselves? Itu yang penting. Jangan terjebak sama satu zona nyaman. Think out of the box, and challenge yourself constantly. Is this the best version of me, or can I be a better person of myself. Itu yang saya rasa penting untuk disimpan oleh semua orang. 

Tri: Betul, Pak. Itu tentang kesiapan kita menerima perubahan ya, Pak. Karena memang mau nggak mau, tidak bisa dipungkiri bahwa setiap hari ini ada saja hal yang berubah. Ada saja inovasi baru yang dibuat. Ini biasanya terjadi di perusahaan-perusahaan zaman dulu seperti Nokia yang tidak menerima kehadiran Android saat itu dan telat akhirnya, akhirnya mereka gugur. BBM yang tidak menerima Android dan kasusnya serupa. Jadi memang harus dekat dengan perubahan. Kalau tidak dekat dengan perubahan, kita akan ketinggalan. Ada nggak inovasi-inovasi terbaru Microsoft yang bisa mengatasi isu orang-orang yang takut menghadapi perubahan tersebut?

Tri: Tapi memang kalau education, fokusnya guru sih, Pak. Nggak dipungkiri memang banyak juga teacher yang resistence dengan teknologi. 

Obert: Nah, mungkin saya bisa share sedikit saja contoh yang terbaru yang dikembangkan Microsoft yang baru launching itu kan Windows 11, ya. Nah Windows 11 ini mengakomodir dua dunia berbeda. Jadi Windows 11 itu memungkinkan menjalankan aplikasi Android di platformnya. Jadi kalau teman-teman guru sudah biasa mengajar dengan aplikasi di Androidnya, dengan segala ketersediaan resource yang ada di masing-masing siswanya. Sekarang, hal itu bisa tetap dijalankan di Windows 11. Nah ini mungkin sesuatu yang dua atau tiga tahun belakangan tidak pernah terpikirkan. Menggabungkan dua dunia. It’s happening, and so it is possible. The only blocker is your mindset. Do you want to open it up, or not. Jadi tools itu akan semakin banyak dan semakin aksesibel. Zaman saya kuliah dulu, belajar coding itu harus belajar masing-masing bahasa pemrograman dan ada syntax-nya masing-masing. Harus hafal, harus manggil apa dulu, kemudian nanti refernya ke mana. Itu sudah njelimet banget. Ujiannya aja… yah yang penting sudah lulus lah saya. Zaman sekarang anak-anak bisa belajar coding dengan drag and drop, dengan berkreasi menggambar, mendesain dengan mudah sekali. 

Bahkan yang untuk advance pun yang lebih senior, Office 365 ada aplikasi Power platform, kita bisa bikin workflow atau aplikasi-aplikasi sederhana tanpa harus paham coding. Yang penting logika berpikirnya ini mau diapakan, dan nyambungnya ke mana. Kalau kita bisa terjemahkan itu guru-guru di Indonesia pun bisa bikin otomatisasi data dari tugas-tugasnya dia, misalnya. Siswa kirim tugas, ketika sudah masuk langsung dikirim ke mana/disimpan, dan setelah dinilai masuk ke mana nilainya, sampai bisa diotomatisasi menjadi raport, dan raport-nya pun bisa dikirim ke orang tua masing-masing. Kan biasa guru masih harus manual dari daftar nilai, Ms. Excel, mail merge ke Ms. Word, keluar di Ms. Word harus di-pdf satu-satu, kirim satu-satu. Dan seringnya tertukar. Raport-nya Doki terkirim ke orangtuanya Diana. Nanti kalau nilainya lebih bagus, curiga. “Kok ini anak gue nilainya bagus-bagus banget.” Atau sebaliknya. Ini terjadi, dan manusiawi sekali. Kalau bisa diotomatisasi dan disederhanakan proses yang panjang untuk mengurangi waktu manusia. Sehingga manusianya bisa memanfaatkan waktu itu untuk mendidik manusia. Itu tantangan terbesar zaman sekarang. Dengan gadget semua orang malah terpaku sama gadget, mereka malah dikuasai teknologi. Tugas besar pendidik adalah tetap mendidik anak-anak menjadi manusia. Itu tugas lebih berat daripada mengajari ilmu. How do we teach them to be human and the right human for their time. Itu yang lebih berat lagi, karena tidak ada yang tahu zamannya akan seperti apa. Ada survey di amerika, 60% dari grade school students today will work the work that don’t exist yet. Dan itu kenyataan sekali. Beberapa tahun terakhir, data scientist, data engineer itu judul pekerjaan yang sexy luar biasa dan harganya mahal sekali. Dan sepuluh tahun yang lalu itu belum ada. Blockchain expert itu lima tahun yang lalu mungkin orang masih ragu-ragu, dan kenyataannya berubah luar biasa. Yang penting mindsetnya, karena teknologi akan berkembang lebih cepat lagi dari yang sekarang. Kalau tidak ada growth dan challenger mindset, we won’t survive. We need to challenging ourselves. Itu yang harus dipertahankan. 

Diana: Thank you, Pak Obert. Kak Doki ada pertanyaan lagi? Terima kasih sekali lagi, Pak Obert.

Tri: No, tidak ada. Justru setelah ini akan banyak pikiran ya, Diana? We need to innovate something, growth mindset. Terima kasih, Pak Obert.

Obert: Thank you, next time kita podcastnya offline, ya. Ketemuan gitu, sudah lama nggak ketemuan. 

Tri: Wah siap!

Copyright © 2021 Empire Code. All Rights Reserved.

Share this