Stephanie Seputra – Perempuan Muda Ini Menyiasati Keterbatasan dan Membuatnya Menjadi Entrepreneur yang Unstoppable (#1) Transkrip – The Empire Code Show
show-img

Stephanie Seputra – Perempuan Muda Ini Menyiasati Keterbatasan dan Membuatnya Menjadi Entrepreneur yang Unstoppable (#1) Transkrip

Catatan podcast dan tautan ada di https://show.empirecode.co/stephanie-seputra/

Diana: Langsung mulai aja. Terima kasih Steph sudah berkenan hadir. Selamat datang di The Empire Indonesia Show Podcast. Podcast yang akan mengajak kamu dan kita semua untuk ngobrol hal-hal menarik seputar pentingnya teknologi literasi digital dan computer science education di Indonesia. Akan rilis setiap minggu dan menghadirkan pembicara tamu dari berbagai latar belakang mulai dari technopreneur, pengusaha, pendidik, spesialis pendidikan dan masih banyak lagi. Ada saya Diana Pramesti dan Tri Handoko yang akan memandu obrolan ini. 

Diana: Hari ini hadir bersama kami di sini ada Stephanie Seputra SOO dan Founder dari MyEduSolve. Apa kabar Steph?

Stephanie: Hai kabar baik. Thank you for the invitation.

Diana: Ini lagi online dari mana kalau boleh tahu?

Stephanie: Hai aku sekarang lagi kerja dari Bali, kebetulan dari Desember tahun lalu.

Diana: Wah sama banget aku juga lagi di Bali. Kak Tri all the way dari Jakarta ya?

Tri: Yes. Ini suasana podcastnya jadi mendadak formal banget ya. Padahal awalnya pengen yang asyik aja. Dan kemarin sempat pilih Stephanie karena to me she’s very young and haunted and she’s knows a luts related to business, technology, and she’s awesome. Jadi makanya aku bilang, “Ah Stephanie nih bisa diundang.” And here she is.  

Diana: Ya jadi sedikit formal karena aku tandi membacakan intro kali ya. Oke nanti itu bisa kita cut at anytime. Siapapun bisa bertanya nanti, jangan sungkan untuk Stephanie bertanya sama kami. Cerita dong Steph tentang masa kecilmu, dan bagaimana kamu terekspos dengan teknologi dan tertarik sama education?

Stephanie: Hmm, masa kecil ya. Jadi dulu dari kecil itu anaknya cukup bandel, dan nggak terlalu suka sekolah. Jadi suka nyari-nyari, hal apa lagi nih yang bisa gue kerjain. Actually kalau misalnya first impression tentang teknologi. Dulu itu ada komputer rumah, belum ada laptop, dan di bawah. Jadi kamar gue kan di lantai atas terus computer rumah udah nggak bisa dipakai lagi kalau udah jam 9. Jadi jam 9 malem gue tutup selimut dan kalau gue merasa orang tua gue udah tidur di bawah, gue akan pelan-pelan ke bawah, nyalain modem, nyalain komputernya. 

Actually gue pertama kali tertarik sama desain. Jadi gue ngajarin diri gue sendiri PS, terus gue jadi salah satu… dulu gue umur berapa ya? Di bawah 12 tahun deh, jadi salah satu deputi di games itu gara-gara gue bisa PS. Jadi gue bikinin semua orang punya profile picture and stuff like that. Dari situ gue jadi tau kalau dunia teknologi itu nggak mandang umur. Nggak ada yang kayak lu terlalu muda untuk satu hal atau lu terlalu tua untuk satu hal. Itu bener-bener ngebuka pintu banget. Dan itu yang buat gue tertarik banget sama ranah teknologi. 

Diana: Wah menarik. Berarti ada grafik desain, game, dan computer yang ada di rumah. Itu cahayanya emang nggak mencurigakan dan diketahui orang rumah? Kan computer ada cahayanya tuh

Stephanie: Betul, betul. Jadi itu udah gue set-up lah, bagaimana caranya agar nggak terlihat, dan pas turun tangga itu gue cuma pakai the step of my toes jadi bener-bener nggak ada suaranya. Jadi right sebelum pergi sekolah dulu kan bangun jam 6-an itu ya, jadi pas jam 5 itu waktunya gue buat tidur. Terus gue lari ke atas dan bakal tidur.

Tri: Nakalnya niat dan positif ya. 

Diana: Niat, positif, dan well organized

Tri: Exactly, dia mikirin semuanya.

Stephanie: Iya soalnya kalau nggak, ya nggak bisa main. 

Diana: Terus kira-kira pengalamanmu, kecenderunganmu waktu kecil seperti itu berpengaruh nggak sama kamu sekarang?

Stephanie: Menurut gue pasti semua hal itu ada pengaruhnya ya, dan the question is right now apakah pengaruh itu pengaruh yang baik atau yang buruk. Dan dalam berbagai hal menurut gue, kalau sewaktu kecil kita diberi ruang. Anything that also salah satu hal yang paling gua suka adalah berkreasi di ruang lingkup yang terbatas. Karena hal tersebut bikin kita jadi lebih kreatif nih. “Oh gue cuma bisa melakukan ini. Bagaimana ya caranya biar bisa tetap melakukan hal yang kita mau.” Dan dari situ, orang-orang sekarang kan sering ngomongin creative problem solver. What does actually mean? Nah semua pengalaman gue dulu help me in the way that I’m thinking right now. Kalau orang bilang, “Oh ini nggak bisa.” Menurut gue ini belum ketemu caranya aja. I think it’s help me to not giving up easily dan stick thing, and be okay with feelings too. Kayak gue dari kecil itu nggak pernah takut dimarahin karena gue merasa kalau lu dimarahin kan lu bisa belajar, gitu ya. Itu adalah sesuatu yang baik. Also at the same time, setelah gua sadar gimana teknologi itu membuka kesempatan buat kita, buat gua, gua merasa ini adalah hal-hal yang perlu gue share ke orang lain juga. Maka dari itu bergelut di dunia pendidikan. Karena gue merasa sebelumnya gue bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya gue pikir nggak bisa, gara-gara teknologi ini jadi bisa. Maka dari itu gue pengen pass on the torch juga kan. Bagaimana caranya biar orang lain bisa mengalami hal tersebut. 

Diana: Kita pengen juga dengar bagaimana perjalanan kariermu, dan feel free untuk menghighlight hal-hal yang mungkin penting dari sana. 

Stephanie: Oke mungkin awalannya itu, gue kan nggak pinter sekolah ya. Jadi gara-gara nggak pinter sekolah itu gue pengen kerja cepet-cepet. Dari kecil, SD atau SMP itu gue udah mulai kerja. Internship nggak jelas gitu lah. Pernah intern di hotel kayak di First Media gitu. Beresin laundry, cara bikin latte, dll. Pas masih kecil banget. Dari situ gua realized bahwa gue nggak suka service industry. Dan menurut gua ini sesuatu hal yang penting ya. Bukan hanya kita haru tahu apa yang kita sukai dan apa yang bisa kita lakukan dengan  baik tapi kita harus tau sebenernya apa sih yang nggak kita sukai. Kadang orang-orang itu pasti merasakan decision paralysis ya. Duh pilihan gua terlalu banyak nih. Dari situ gua percaya banget sih, pada saat lu masih muda, cobain aja dulu semuanya, supaya lu tau, yang lu suka apa dan yang lo nggak suka apa. Terus pas masuk ke universitas, gue merasakan hal yang sama. Aduh gue nggak suka sekolah, bukan tempat di mana gue bisa belajar. Karena ternyata gue itu orang yang belajar melalui experiential learning. Gue suka banget ngobrol sama orang dan stuff like that, dan kalau di universitas nggak seperti itu, ya. Kalau di universitas itu kan ada dosen, dia ngomong, terus lu dengerin kan. Terus sebelum masuk sesi diskusi gue udah bosen duluan. Jadi itu bukan cara gue belajar ternyata. 

Jadi semester pertama, di US kan harus punya Social Security Number (SSN), ya. Jadi gue cari-cari nih bagaimana caranya biar international students bisa dapat. Setelah gue lihat-lihat, ternyata anak tahun pertama nggak bisa dapat, kecuali lu kerja di sekolah. Jadi gue mencari-cari, di sekolah gue ada apa ya. Setelah gue cari-cari, gue menemukan hal menarik lagi nih. Gua kan sekolah business school ya, dan ternyata di business school ini nggak ada yang bisa desain. Makanya di tahun pertama gue masuk di seven executive boards, dari tujuh organisasi berbeda. Dan itu bukan karena gue pintar atau apa, tapi hanya gara-gara gue bisa desain doang. Terus kebetulan banget nih dibuka posisi Social Media Coordinator, terus gue kayak, ya sudahlah apply aja. I’m sure I can do something. Dari situ gue belajar bahwa, you don’t have to be the best at something, you just have to have something that other people don’t. Dalam artian, if you can to do something that they’re not willing to do, it will set you apart. Dan itu, gue kemarin baca buku yang bikin Dilbert dan dia menulis hal yang sama; “Gue itu bukan orang yang bisa menulis bisnis writing dengan baik, gue juga bukan kartunis terbaik, tapi gue satu-satunya kartunis di dunia yang ngomongin tentang kerjaan.” Maka dari itu dia bisa jual komik strip sangat banyak, like Dilbert is very famous in the US. Dari situ gue belajar, ya lu harus cari niche lu aja. Jangan selalu, “Ah gue mau jadi unicorn.” Siapa tau itu bukan jalan lu kan. Siapa tau ada jalan yang lain. Dari situ lu bisa membuat niche lu sendiri. Yaudah gue bisa dapat SSN, dan gue pun dapat kerjaan. Teman-teman gue bingung, dan gue pun bingung. 

Terus itu membuka opportunity banget sih. Karena dengan SSN, di semester-semester berikutnya gue bisa kerja di tempat lain dan cari sesuatu yang sesuai passion gue juga. Mungkin gue mau share satu cerita lagi pas gue dapat kesempatan magang di suatu non-profit, namanya Charity: Water. Gue dari SMA sudah mengikuti Charity: Water karena gue suka banget brandingnya keren, dan gue juga percaya banget tentang apa yang mereka lakukan nih. Bagaimana caranya they can give access to clean water ke orang-orang yg nggak punya akses nih. Jadi ini buat gue dream job lah. Dan gue apply tiap tahun ditolak dong. Gue apply total 4 kali, 3 kali ditolak dan di tahun terakhir diterima. Dan di saat itu gue jadi belajar hal lain nih. Saat lo ditolak, bukan berarti lu ditolak untuk selamanya ya. Tapi mungkin Tuhan/dunia ini memiliki jalan lain untuk lu yang lebih baik dari yang lu bayangkan. Dari situ, sekarang kalau gue denger nggak, gue nggak pernah baperan. Kayak, “Oh ya maybe not today, maybe tomorrow. Who knows.”

Nah di situ gue juga belajar sesuatu tentang bisnis yang shifted my perspective tentang gimana caranya membangun sebuah bisnis. Pas ngobrol sama Scott Harrison Founder Charity: Water ini, dia bilang, “Sukses buat gue kalau kita bisa run ourselves out of business.” Kan gua bingung ya. Ini pebisnis macem mana sih yang mau dirinya irrelevant. Terus dia menjelaskan tapi. “Soalnya menurut gue, kita bangun non-profit ini untuk menyelesaikan sebuah masalah. Jadi sukses itu ketika masalahnya sudah terselesaikan dan orang sudah nggak membutuhkan kita lagi.”

Gue jadi mikir, “Oh bener juga ya.” Kita itu harusnya menyelesaikan sebuah masalah. Bukan membuat masalah ini lebih besar supaya orang membutuhkan kita. Dari situ gue jadi percaya, kalau sekarang orang-orang nanya; “Gimana lu di dunia pendidikan sekarang banyak banget kompetitornya, atau segala macem.” Gue nggak pernah pusing sama kompetitor. Karena menurut gue, we’re here to solve the problem. If the problem is solved, that’s great. Dari itu, gue sekarang seneng-seneng aja daripada stress karena kompetitor makin banyak. 

Tri: Ini jadi menarik, di satu sisi Stephanie ini sangat punya learners character. Kalau di dunia pendidikan kita butuh yang namanya learners character yang sebenarnya bisa belajar dari hal apapun. Jadi kalau kita kembali ke filosofi dunia pendidikan… pendidikan itu nggak hanya tentang sekolah. Bisa juga pendidikan itu justru hal-hal yang kita dapatkan di luar sekolah. Nah, Stephanie ternyata banyak belajar dari sana. Hal yang terjadi justru di luar sekolah itu sendiri. Dan Stephanie juga menyinggung beberapa hal tentang skil yang memang dibutuhkan. Jadi sebetulnya nggak perlu fokus ke banyak skil yang sebetulnya kita nggak diri kita bagus di mana. Kalau kita punya satu skil yang kita advance di hal itu dan bisa diimplementasikan, lu juga akan bisa jadi orang yang punya standing point. Jadi di mana pun lu berada, selama lu punya skill yang menonjol lu akan tetap dibutuhkan. Nah, Steph, dari semua skil yang Stephanie punya, aku sebenernya tertarik sama skil bisnismu. People said that business is all about money, what do you think about that? 

Stephanie: I mean, makanya gue suka banget sama model social enterprise. Karena dalam satu sisi… dan menurut gue semua bisnis itu pada akhirnya akan jadi social enterprise. Dalam arti, dengan kita mengembangkan/membuat dunia ini menjadi lebih baik, it will paid off. That’s why I really believe in triple bottom line; people, profit, and climate. Bagaimana caranya kita membuat bisnis yang bukan hanya bagus untuk diri kita sendiri tapi juga bagus untuk orang lain, dan bagus untuk dunia. Tapi gue juga percaya, uang itu penting di dalam bisnis karena kita nggak mungkin bisa melakukan hal-hal yang mau kita lakukan tanpa uang. Misalnya, dulu sebelum pandemi, “Okay kita mau expand nih di luar jawa.” Tapi buying powernya semua ada di Jawa.  Bagaimana caranya kita bikin program yang sama bagusnya dan kualitasnya di luar Jawa dengan harga yang lebih murah. Pasti kita harus membuat uangnya di Jawa dulu nih. Tapi at the end of the day I believe money is not everything. Throughout this pandemi gue juga jadi belajar banyak. Saat di mana gue bener-bener mikirin tentang uang, bisnis gue nggak jalan sama sekali. Tapi saat gue percaya kalau gue membuat program yang baik, dan untuk membantu orang, uangnya akan datang. Dan beneran datang lho!

Tri: Wow, that’s very insightful. 

Diana: Anyway, apakah pencapaianmu yang paling signifikan ketika kamu menjadi seorang technopreneur seperti sekarang? 

Stephanie: Menurut gue pencapaian gue yang paling signifikan ya.. agak susah karena gue belum merasa mencapai apa-apa yang signifikan. Tapi mungkin gue bisa share kalau gue merasa I’m doing the right thing. Atau gue merasa gue ada di jalur yang tepat. Mungkin gue back story sedikit lagi ya. Banyak sekali waktu orang-orang mengucilkan gua, sering banget hampir nggak naik kelas, atau dikeluarin dari sekolah. “Ah ini anak malah bikin masalah doang.” Gue itu tipe-tipe anak yang misalnya gue sudah bikin PR, tapi ketinggalan, terus gue bilang PR gue ketinggalan, nggak akan ada yang bakal percaya. Gara-gara anggapan mereka, “Ah lu pasti udah bohong aja.” Tapi walaupun seperti ini, ada dua guru yang membantu gue mengubah cara gue melihat diri gue sendiri. They’re able to believe in me before I able to believe to myself. They empowered me to be the person that I’m today. 

Yang pertama, she held me to the same standard that she held to everyone else. Jadi kalau orang lain sudah memberi gue standard yang sudah sangat rendah, guru ini akan nggak terima. Dia selalu expect student-nya ada di sini. Gue nggak peduli lu nggak bisa, pokoknya lu harus bisa. Dari situ gue merasa tertantang, “Wah seru juga ini.” Ternyata ada orang-orang yang nggak melihat gue dengan berbeda. 

Kemudian yang satu lagi ngajarin gue untuk bisa bertarung dengan diri gue sendiri. Seperti, “Ya sudah lo nggak perlu dapat nilai yang bagus-bagus, tapi lu mau main basket kan. Lu seenggaknya butuh passing rate untuk bisa main basket. Gitu.” Balik lagi ke pertanyaan tadi, di saat gue bisa merasa ada di jalan yang benar itu saat gue bisa memberikan kesempatan yang sama untuk orang lain. Dalam arti, once I can believe in people when they can’t believe in themselves, I think is a ‘what I’m here to do’. Salah satu program yang sekarang kita jalanin itu dengan Kampus Merdeka. Dan di situ gue sering banget denger sharing-sharing dari anak-anak. Seperti, “Mimpi gue itu pengen bisa jadi guru. Dan untuk bisa, gue harus melakukan hal ini dan hal itu.” Membutuhkan credentials. Dan mereka merasa, dengan ikut program kita, mereka jadi lebih siap. Mereka juga jadi lebih antusias nih mengerjakan apa yang mereka mau kerjakan. Mengejar mimpi mereka. So, hal-hal seperti itu sih yang bikin gue merasa, “Oh gue on the right track. This is the track that I want to be in.”

Tri: Steph, pernah stress nggak?

Stephanie: Sering dong. 

Tri: Bagaimana Stephanie mengatasi?

Stephanie: Jadi ada beberapa frame works. Pertama, gratitude park test. Pada saat kita fokus sama hal negatif yang membebankan atau memberatkan kita, rasanya itu bangun aja susah. Tapi saat kita melakukan sesuatu yang membuat kita berpikir, “I’ve doing right in our life.” Seperti tiap hari gratitude journal, apa sih hal yang membuat gue merasa thankful pada hari ini. Itu mengubah hidup gue banget lho! Misalnya waktu gue memikirkan tentang macet, gue ingat-ingat lagi, “But the sky really beautiful.” Hal-hal kecil seperti itu, it’s really helps you go through the day, manage your stress and stuff like that

Kedua, olahraga sih. Gue baru-baru ini selama pandemi jadi suka banget main tenis karena waktu gue main tenis itu adalah waktu di mana gue nggak harus berpikir. Gue cuma perlu mikirin si bola ini. Kemudian di akhir sesi, masalah gue akan jadi lebih rapi. Ternyata di dalam otak kita ada active thinking but there is also unconscious thinking. Pada saat kita creatively thinking about our problem, kita nggak punya distance yang cukup untuk menyelesaikan masalah tersebut. We’re too close to the problem. Kadang kalau kita biarkan, sometime the solution will appear. Jadi to give yourself to nothing is to be able to manage your stress. 

Terakhir, kadang-kadang hal yang juga penting itu adalah rest ya. Di waktu-waktu kita produktif dsb, rest itu sangat penting. Kemarin gue sempat mikir, yang membedakan kita dan Steve Jobs dan yang lainnya itu apa sih? Kita sama-sama punya waktu yang sama. Dia pun kerja pasti sama lah kurang lebih dengan kita. Nggak mungkin lebih dari 12 jam sehari. Jadi yang membedakan apa? Ah, the quality of thinking that they’re doing. It’s not like they’re doing more than us, it just like their quality of thinking yang berbeda. Nah, how can we do that? If we don’t rest, we can’t doing that. How about you, Mas TH? How do you manage your stress? 

Tri: Waduh… habis ini akan jadi podcast ku ya, Diana. I also do what you do, Steph. Dan aku orangnya multitasking. Biasanya kalau melakukan satu hal saja malah nggak akan selesai. Biasanya aku melakukan beberapa hal, biar ter-distract aja dari hal yang pertama. Ketika nanti balik lagi, sudah menemukan solusi-solusinya. Jadi melakukan banyak hal, balik lagi, sudah ketemu solusinya. Begitu terus. 

Diana: Menurut kalian, sama nggak mentok dengan stres? Pernah nggak kalian ada di posisi ini? 

Tri: Aku yakin momen stuck ini sering kali ya. Hanya saja kita bukan menganggap ini seperti jalan buntu. Karena kalau kita berpikir kita mentok, kadang itu membuka pikiran untuk memikirkan mungkin ini kesempatan untuk mencoba hal lain. Jadi mentok itu justru opportunity bukan berhenti. Kalau menurut Stephanie bagaimana?

Stephanie: Setuju. Kalau sekarang gue associate mentok as ‘next level’. Jadi kalau mentok itu justru gue excited, gue senang. Oh cara gue yang dulu itu sudah nggak berguna sekarang. Ini sudah waktunya gue memikirkan cara lain. 

Diana: Terus spill dong buku favourite atau buku terakhir yang kamu baca? 

Stephanie: Jujur gue suka banget baca buku, jadi actually bakal banyak. Tapi buku yang menurut gue mengubah gue paling banyak adalah Atomic Habits-nya James Clear. Sampai sekarang pun gue masih subscribe newsletter dia that comes up every Thursday and it always great. Gue nggak ngerti bagaimana dia selalu konsisten dengan ini, tapi insight dia sangat valuable to me. Dan beberapa hal yang gue suka banget sama James Clear ini, dia percaya with the idea of one person improvement, jadi one person everyday. Jadi lu itu nggak harus mimpi terlalu jauh dengan kita yang sekarang, tapi si James Clear ini percaya bahwa atomic habits atau hal-hal kecil bisa mentransformasi hidup kita dengan cara yang luar biasa. Dan dari perhitungan dia, there is exponential changes that you can experience through this one person’s improvement. Dalam arti, kalau kita setiap harinya dalam waktu satu tahun improve ourselves by one person aja, di dalam akhir tahun kita bisa menjadi 37x lebih baik dari diri kita sebelumnya. Langkah kita itu nggak harus semuanya besar, you can start small, you can be where you want to be. 

Misalnya lagi, gue selalu berpikir gue nggak bisa bangun pagi. Gue selalu berpikir bahwa , “Oh I’m a night person.” Tapi ternyata nggak lho, gue bisa jadi morning person. Ini hanya soal perspektif diriku. 

Diana: Ngomongin inspirasi, ada nggak orang yang menginspirasimu, Steph?

Stephanie: Inspirasi ya, orang sih banyak. Ketemu TH/Mas Doki itu gue juga terinspirasi lho. Orang itu pasti banyak yang punya mimpi. Tapi kalau Mas Doki itu perlahan-lahan tapi dengan sangat pasti bisa mencapai mimpinya. Kerja saja sudah lelah ya, after hours dan selama akhir pekan, dia mengerjakan Tibra Overseas dong. Menurut gue keren banget. Gue bener-bener respect ini. Hal lain tentang Tibra juga, Mas Doki sudah mengalami susahnya mencari beasiswa dan sekolah di luar negeri. Prosesnya semua orang buta banget, dan dia pengen solve hal itu. Bagaimana caranya orang-orang Indonesia bisa tahu dan melakukan hal ini dengan lebih mudah. Itu jadi keren banget menurut gue. 

Tri: Aku pernah punya pengetahuan gini bahwa seorang leader itu bahkan dia punya banyak banget guru. Dan gurunya itu nggak selalu orang-orang gede. Bahkan anak kecil bisa jadi guru dia, orang-orang di sekitarnya bisa jadi guru dia. Nggak bergantung dengan latar belakangnya, asalkan dia bisa memberikan perubahan untuk kita, mengubah cara pikir kita, itu dianggap sebagai guru. Dan yang ku suka dari Stephanie adalah learners character, she can learn from everything around her. 

Diana: Dan menurutku, ngobrol dengan kalian berdua membuatku sadar bisa punya learners character itu kemewahan/previlese sih. Karena nggak semua orang bisa punya karakter dan mental seperti ini, bisa mengambil poin belajar dari setiap hal yang terjadi dalam hidup—yang setiap hal terjadi itu pun nggak selalu bagus. Kadang kita nggak selalu mengalami hal-hal baik, dan ketika kita masih bisa belajar dari sana, itu luar biasa. 

Tri: Betul, dan ketika ada orang yang mengalami banyak cobaan dalam hidup, dan dia nggak bisa belajar dari sana, dia juga nggak ada jadi apa-apa dari sana. 

Diana: Apa tantangan yang kamu hadapi, Steph?

Stephanie: Tantangan sih pasti banyak ya. Tapi baru-baru ini kita sedang memikirkan bagaimana caranya supaya kita bisa mengembangkan quality education. Soalnya kalau sekarang, lots of the time has to be one on one. It has to be through mentorship and very customized. Tapi, it’s going to be very expensive. Karena waktu seorang master mentor itu pasti sangat mahal. Permasalahannya sekarang bagaimana caranya menjaga kualitas tapi juga membuat itu terjangkau. 

Kedua, di saat di mana banyak hal dituntut untuk online. Di satu sisi ini menarik karena bisa reach out to so many other people. Tapi disisi lain tantangannya adalah bagaimana caranya mengambil base line measurement, karena yang namanya beginner atau one on one class itu beda-beda banget. One on one class yang di Jakarta pasti beda dengan daerah lain. Jadi gimana cara melakukan base measurement yang baik, impact attribution yang baik. Misalnya ketika mereka masuk program, what is impact attribution yang bisa kita bilang, “Dia itu bisa seperti ini karena program kita.”

Hal lainnya, bagaimana kita mengukur impactnya. Ini pertanyaan yang tricky. Tapi bagaimana caranya program yang kita bangun ini, orang-orang yang mengambil sertifikasi kita sudah ada di jalan yang benar, dan bagaimana caranya kita bisa provide ke lebih banyak orang lagi, sembari menjaga kualitas dan bisa membuatnya terjangkau. 

Tri: Steph, sebenernya waktu kita sudah tinggal sedikit. Aku ada pertanyaan, apa pesan Stephanie untuk anak-anak muda di luar sana yang mungkin mau memulai bisnis atau mengembangkan dirinya? 

Stephanie: Menurut gue penting memulai dari where you’re. You’re on the right place and time. Gue suka banget satu pepatah Cina yang selalu gue ulang-ulang. Dia bilang, “Waktu terbaik menanam pohon adalah 20 tahun yang lalu. Tapi waktu kedua terbaik adalah sekarang.” Menurut gue ini kita bisa aplikasikan ke semua hal. Teman gue ada yang bilang, “Coba kita beli tanah di Senayan 50 tahun yang lalu…” Hahaha, menurut gue nggak bisa begini juga, yang jadi problemnya adalah sekarang. Jadi itu, gimana caranya we can live in the present, and deal with things now. Pada akhirnya, kita ada di waktu dan tempat terbaik. Kalau kita bisa percaya ini, kita bisa maju. Kalau nggak, akan susah. Kalau ketemu masalah, nggak apa-apa, jalani saja dan berproses. Proses orang-orang pun beda. Misal lo merasa, “Aduh orang lain kok sudah di sini, gue masih di sini.” Ya nggak apa-apa,  itu prosesmu. Fokus sama diri sendiri dan kekuatan yang kita punya.

Ada satu lagi metafora yang teman gue share. Kita itu harus jadi seperti lilin di kue ulang tahun. Dia bilang nah kalo lu jadi lilin ulang tahun, kalau lu mati, pasti ada lilin lain yang bantuin ngidupin lagi. Kita itu harus surround ourselves dengan orang-orang yang seperti itu; di mana saat kita patah semangat ada orang-orang yang menyalakan api kita lagi. Karena gue merasa kita selalu diharapkan untuk you have to be self made. Seperti sendiri. Padahal ngapain susah-susah sendiri kalau lu bisa bareng dan membagi bebannya bersama?

Diana: Pertanyaan terakhir, menurutmu pentingkah untuk anak-anak terpapar dengan teknologi sejak mereka masih kecil?

Stephanie: Menurut gue, suka atau nggak, teknologi itu jadi bagian yang integral dalam hidup kita. Pertanyaannya sekarang, are we going to use it for us or against us? Dan menurut gue kalau kita nggak tau musuh kita siapa, atau mereka seperti apa dll, ya kita nggak akan bisa membuat strategi nih agar teknologi itu nggak memperbudak kita. Jadi menurut gue penting banget untuk kita berkenalan dengan teknologi dan mengerti, apalagi secara fundamental concept –nya teknologi kita itu sebenarnya apa. Dulu misalnya, beberapa tahun yang lalu semua orang denger Artificial intelligence (AI), itu udah takut duluan. Kita akan di-take over oleh mesin, seperti Animal Farm atau 1984. Tapi sebenarnya kalau kita tau apa yang dilakukan sama AI—core concept-nya seperti apa, sebenarnya banyak dari penggunaannya bisa membantu kita. Jadi yang pertama jangan takut, dan yang kedua, break it down to the smaller fundamental concept. Karena dengan seperti ini kita bisa tahu ini bisa dibuat apa dan hal-hal apa yang bisa kita perhatikan saat kita membangun sesuatu. 

Diana: Teknologi itu kesannya seram, benda yang harus kita lawan. Jadi ketika kamu bilang break it to the smaller concepts, jadi masuk ke digital literasi juga. Dan penting untuk kita tahu sejak kecil.

Stephanie: Correct. 

Tri: This is end of our show. Banyak banget hal yang kita dapat dari perbincangan kita tadi. Buat teman-teman di luar sana yang ingin dengar podcast ini dengan pembicara-pembicara lainnya yang nggak kalah kerennya sama Stephanie, ikuti kita ya. Sampai jumpa! 

Copyright © 2021 Empire Code. All Rights Reserved.

Share this